AL-GHUROBA’ adalah sebuah perusahaan jamu (PJ) yang berkedudukan di kabupaten Sukoharjo. Sebuah perusahaan perorangan yang dirintis oleh bapak Widodo yang akrab disebut dengan Miqdad al-Ghifary sejak 19 tahun yang lalu. Tepatnya pada tahun 1994.
Usaha Jamu Tradisional ini berawal dari sebuah lapak PKL yang tempatnya berpindahpindah di kota Surakarta. Adakalanya di sekitar masjid Penumping atau trotoar utara Alunalun (Gladak), kadang dibeberapa tempat lainnya.
Saat itu, yang dijajakan Bapak Widodo adalah produk buku-buku Islami, kaset murattal, minyak wangi, dan beberapa produk herbal buatan sendiri seperti minyak zaitun, madu alami dan produk herbal lainnya, yang dikemas sendiri.
Tampilan produk rintisan Perusahaan Jamu saat itu, tampak sangat sederhana. Hanya dengan label berdesign sederhana. Yang diperbanyak melalui fotokopi. Bahkan tanpa izin legalitas seperti saat ini, walaupun hanya berupa izin penyuluhan dari Dinas Kesehatan setempat.
Tekad saat itu hanya satu, berjuang untuk menghidupi keluarga, anak dan isteri tercinta.
Tidak sedikit hambatan dan aral merintang menghambat perjalanan AL-GHUROBA’. Namun berkat kemudahan dari Allah Ta’ala , seiring kerja keras dan upaya aktif, baik dari pemilik maupun beberapa karyawan yang ada, sedikit demi sedikit nama AL-GHUROBA’ sebagai produsen Jamu Tradisional makin hari makin dikenal.
Penamaan AL-GHUROBA’ itu sendiri, sebagaimana terdaftar sebagai Merek yang diakui di Kementerian Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, lengkap dengan tanda (-) setelah Al, dan tanda (‘) pada akhir kata, bukanlah tanpa maksud.
AL-GHUROBA’ secara ringkas dapat dijelaskan diambil dari bahasa Arab yang mengandung pengertian “asing / berbeda dengan lingkungan kebanyakan saat itu sesuai dengan era bergulirnya zaman”.
Hal ini sesuai keadaan saat itu. Dimana produsen jamu yang fokus memproduksi jamu dengan ramuan Thibbun Nabawi masih asing. Sebagaimana belum populernya metode pengobatan tersebut di kalangan Ummat Islam.
Dapat juga pengertian “asing” menunjukkan kenyataan tentang asingnya masalah perizinan bagi sebagian pengelola usaha jamu. Dengan dalih belum mampu membayar Apoteker, padahal omzet jamunya telah mampu mengembangkan asset pribadi, izin yang merupakan kewajiban sebagai warga Negara yang baik pun diabaikan.
Kedepannya, AL-GHUROBA’ sebagai produsen jamu yang telah berizin, demikian juga produsen jamu lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, diharapkan tetap tegar dan tidak terbawa arus persaingan yang tidak sehat, sehingga menghalalkan segala cara. Khususnya masalah kualitas jamu itu sendiri. Tidak lagi peduli pada kelayakan bahan baku dan aspek legalitasnya bahkan secara sengaja merusaknya dengan campuran bahan kimia obat.